Gagasan kaum Puritan masih tertanam kuat di Amerika Serikat. Bahkan menjadi modal budaya bagi pembangunan bangsa dan modal komunikasi bagi pemimpin di Amerika.
“Puritanisme sudah menjadi bagian dari Sejarah Amerika dan membentuk perilaku dasar masyarakatnya. Meskipun pandangan kaum Puritan mengalami pasang surut, namun gagasan-gagasan mereka selalu muncul dalam pidato-pidato pelantikan presdien dari masa Ronald Reagan sampai Barrack Obama,” ungkap Mister Gideon Maru, M.Hum., saat ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (1/5). Dalam kesempatan itu, Gideon mempertahankan disertasi berjudul “ Puritanism In Amerika Presidents’ Mark Of Power: A Study On The Inagural Addresses From Reagan To Obama”.
Gideon mengatakan dalam pidato pelantikan presiden mulai Reagan ke Obama memasukan adopsi gagasan-gagasan kaum Puritan awal yang terefleksi keadaanya dalam istilah-istilah yang masih dipakai dan bermakna kuat dalam upaya presiden membingkai situasi publik. Seperti penggunaan istilah perjalanan, panggilan, misi, terpilih, kewajiban, tanah baru, dunia baru, dan gagasan tentang kota di atas bukit serta keinginan menjadi teladan bagi semua bangsa dan introspeksi yang tiada henti. Selain dipakai untuk membingkai situasi publik, gagasan puritan juga digunakan untuk mengarahkan perilaku masyarakat dalam menghadapi situasi bangsa dan menarik dukungan bagi pemerintahan baru dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bangsa yang lebih baik.
“Jika presiden merupakan corong dan representasi masyarakat, maka ucapan seorang presiden dalam pidato resminya di depan mayarakat bisa dipandang sebagai gambaran nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakatnya,” ucap staf pengajar Universitas Negeri Manado ini.
Dalam naskah pidato pelantikan presiden Amerika ditemukan adanya penggunaan bingkai retoris dari tradisi jeremiad kaum Puritan yaitu adanya unsur ratapan apa yang terjadi saat ini, evokasi masa lalu sebagai motivasi dan solusi masa kini, dan desakan untuk perubahan ke depan yang lebih baik. Hanya saja dalam pidato pelantikan presiden mengalami pergeseran struktur pada penentuan penyebab krisis yang diratapi yaitu kaum Puritan menyalahkan masyarakat sebagai penyebab krisis, sedangkan para presiden cenderung menyalahkan pemerintahan sebelumnya sebagai penyebab krisis.
“Demikian halnya pada penggunaan aspek ratapan yang juga mengalami pergeseran dimana presiden yang melanjutkan periode pemerintahanya untu masa yang kedu kalinya atau sebagai presiden sebelumnya menjadi wakil presiden cenderung mengabaikan aspek ini dalam struktu pidato pelantikan mereka,” jelas Gideon.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan berbagai istilah Puritanisme dalam pidato pelantikan presiden dikaitkan dengan konteksm asyarakat mengarah pada bingkai sosio-kultural, politik dan ekonomi. Dari aspek sisio-kultural, istilah-istilah konseptual Puritanisme memberi bingkai keyakinan Amerika baik pada nilai kebebasan maupun semangat eksepsionalisme dan keyakinan semangat introspeksi Amerika baik bersifat individual maupun komunal. Sementara secara politis, Puritanisme membingkai semnagat misionaris bangsa Amerika terkait dengan misi untuk kepentingan nasional dan internasional. Disamping itu dalam ranah politik Puritanisme menjelaskan bingkai latar belakang partai para presiden berupa keterkaitan sejarah para presiden dari partai Republik dan keterkaitan pada kebaruan para presiden dari partai Demokrat. Sementara dari sisi ekonomi, interpretasi istilah Puritanisme menjelaskan dua bingkai yakni gambaran krisis ekonomi dan gambaran harapan pada perbaikan ekonomi bangsa Amerika.
“Adanya penggunaan berbagai istilah yang berbeda pada konteks yang berbeda dapat dilihat sebagai kekuatan dan dinamika Puritanisme dalam menghadapi situasi bangsa. Dalam konteks ini, Puritanisme telah menjadi modal bersama untuk menanggulangi berbagai situasi bangsa dan memenuhi harapan masyarakat Amerika,” jelasnya. (Humas UGM/Ika)