YOGYAKARTA – Namanya ‘Hafidz’, setelah tiga kali sudah berganti nama. Sebelumnya ia dinamai W1nda. Bukan perkara ganti jenis kelamin, lalu namanya diganti mirip menyerupai nama laki-laki atau perempuan. Melainkan menuruti kemauan si empunya robot. Sebelumnya, robot ini selalu langganan juara dua dan juara empat di kompetisi tingkat regional. Setelah berganti nama untuk ketiga kali, akhirnya bisa menjadi juara satu, bukan hanya di tingkat nasional tapi juga di kompetisi internasional.
“Kita namakan Hafidz diambil dari salah satu nama dari anggota tim kita yang tidak bisa berangkat ke Amerika,” kata Malik Khidir, salah satu dari tiga orang tim robot UGM yang berhasil raih emas Trinity Fire Fighting Robot Contest, 6-7 April di Hartford City, Connecticut, Amerika Serikat. Tim ini juga berhasil mendapatkan 2 emas dan 1 Perak di RoboGames 2013 Olympics of Robots, 19-21 April di San Mateo, California, Amerika Serikat.
Malik menuturkan sebanyak 49 anggota tim yang terlibat dalam persiapan kompetisi robot mewakili Indonesia di Amerika Serikat. Namun karena keterbatasan dana, akhirnya yang diberangkatkan hanya tiga orang, selain dirinya, ada Agys Badruzzaman (Fak Teknik), dan Bachtiar C Permana (Sekolah Vokasi). Dibutuhkan satu tahun bagi tim untuk persiapan mengikuti kompetisi di Amerika. Menurutnya hasil persiapan tersebut cukup maksimal dibuktikan dengan bentuk robot yang mereka buat sangat rapi. “Tiga kali trial berhasil memadamkan api dan mampu kembali ke home (lintasan awal) dengan sempurna,” kata Malik menceritakan pengalamannya saat bertanding di Trinity contest.
Diakui Malik, untuk membuat robot bisa juara tentulah tidak mudah. Setidaknya selama dua tahun, mereka harus mengurangi jatah tidur sekedar untuk mengutak-atik rangkaian robot. “Dua tahun kita kerja, Alhamdulillah ada hasilnya,” ujarnya.
Malik bersama teman-temanya biasanya membagi tugas dalam mendesain robot. Ada yang ditugaskan di bagian mekanik, ada yang mengurusi elektronik dan yang khusus membuat program. Uniknya, saat robot diujicoba dibawah jam 12 malam selalu mengalami error. Sebaliknya robot bisa diujicoba dengan baik bila sudah menjelang pagi, “Seolah sepertiga malam terakhir robotnya bisa dioperasikan,” kenangnya.
Kesulitan yang mereka hadapi tidak berhenti sampai di situ, untuk membeli suku cadang robot hanya dapat dibeli dari Amerika, China dan inggris. “Kita pun terpaksa menunggu barangnya datang satu minggu hingga dua bulan,” katanya seraya menyebutkan untuk satu robot menghabiskan dana sebesar Rp 30 Juta sedangkan untuk robot line follower hanya Rp 2 juta karena suku cadang bisa dibeli di pasar lokal.
Sementara Agys Badruzzaman, menambahkan robot mereka bawa ke Amerika Serikat sempat mengalami kerusakan karena ditempatkan di dalam bagasi pesawat. Beruntung, sebelum bertanding sempat untuk diperbaiki dan membeli suku cadang saat berada di negeri Paman Sam tersebut.
Kesusahan dan kesulitan yang mereka hadapi selama persiapan mendapatkan hasil yang membuat mereka bangga.
Sedangkan dalam kompetisi Robogames, tim robot UGM mengikuti lima kategori namun hanya tiga kategori yang berhasil membawa pulang medali. Dua medali emas diraih untuk kategori Fire Fighting Robot dan Natcar Robot sedangkan perak untuk kategori Balancer Robot. Menurut Agys, kompetisi robot ini merupakan kompetisi robot terbesar di dunia yang pernah dilakukan. Sehingga mendapatkan penghargaan The Guinness World Records. Kompetisi tidak hanya diikuti para mahasiswa namun dikuti oleh semua kelompok umur mulai dari anak-anak hingga para klub penggemar robot. “Diikuti peserta dari 16 negara, ada 59 even, 227 tim, 703 robot dan 841 engginer dari seluruh dunia,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)